Sunday, November 4, 2012

KOMPILASI HUKUM ISLAM


KOMPILASI HUKUM ISLAM 




BUKU I 
HUKUM PERKAWINAN 


BAB I 
KETENTUAN UMUM 

Pasal 1 

Yang dimaksud dengan : 
a.  Peminangan  ialah  kegiatan  kegiatan  upaya  ke  arah  terjadinya  hubungan  perjodohan  antara 
seorang pria dengan seorang wanita, 
b.  Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, 
yang  diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah; 
c.  Akad  nikah  ialah  rangkaian  ijab  yang  diucapkan  oleh  wali  dan  kabul  yang  diucapkan  oleh 
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi; 
d.  Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk 
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam; 
e.  Taklil-talak  ialah  perjanjian  yang  diucapkan  calon  mempelai  pria  setelah  akad  nikah  yang 
dicantumkan  dalam  Akta  Nikah  berupa  Janji  talak  yang  digantungkan  kepada  suatu  keadaan 
tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang; 
f.  Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri 
atau bersam  suami-isteri selam dalam  ikatan perkawinan berlangsung  selanjutnya  sisebut harta 
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun; 
g.  Pemeliharaan  atak  atau  hadhonah  adalah  kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik  anaka 
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri; 
h.  Perwalian  adalah  kewenangan  yang  diberikan  kepada  seseorang  untuk  melakukan  sesuatu 
perbuatan hukum  sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak  yang  tidak mempunyai 
kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum; 
i.  Khuluk  adalah  perceraian  yang  terjadi  atas  permintaan  isteri  dengan memberikan  tebusan  atau 
iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya; 
j.  Mutah adalah pemberian bekas suami kepada  isteri, yang dijatuhi  talak berupa bendaatau uang 
dan lainnya. 


BAB II 
DASAR-DASAR PERKAWINAN 

Pasal 2 
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan 
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 

Pasal 3 
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan 
rahmah. 

Pasal 4 
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum  Islam sesuai dengan pasal 2 ayat  (1) 
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Pasal 5 
(1)  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. 
(2)  Pencatatan  perkawinan  tersebut  apada  ayat  (1),  dilakukan  oleh  Pegawai  Pencatat  Nikah 
sebagaimana  yang  diaturdalam  Undang-undang  No.22  Tahun  1946  jo  Undang-undang  No.  32 
Tahun 1954. 

                                                  

   Disalin dari  ”Kompilasi Hukum  Islam di  Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama  Islam 
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001. Pasal 6 
(1)  Untuk memenuhi  ketentuan  dalam  pasal  5,  seyiap  perkawinan  harus  dilangsungkan  dihadapan 
dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 
(2)  Perkawinan  yang  dilakukan  di  luar  pengawasan  Pegawai  Pencatat  Nikah  tidak  mempunyai 
kekuatan Hukum. 

Pasal 7 
(1)  Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. 
(2)  Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya 
ke Pengadilan Agama. 
(3)  Itsbat  nikah  yang  dapat  diajukan  ke  Pengadilan  Agama  terbatas  mengenai  hal-hal  yang 
berkenaan dengan : 
(a)  Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; 
(b)  Hilangnya Akta Nikah; 
(c)  Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; 
(d)  Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; 
(e)  Perkawinan  yang  dilakukan  oleh  mereka  yang  tidak  mempunyai  halangan  perkawinan 
menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974; 
(4)  Yang  berhak mengajukan  permohonan  itsbat  nikah  ialah  suami  atau  isteri,  anak-anak mereka, 
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. 

Pasal 8 
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan 
Pengadilan  Agama  baik  yang  berbentuk  putusan  perceraian,ikrar  talak,  khuluk  atau  putusan  taklik 
talak. 

Pasal 9 
(1)  Apabila  bukti  sebagaimana  pada  pasal  8  tidak  ditemukan  karena  hilang  dan  sebagainya,  dapat 
dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. 
(2)  Dalam  hal  surat  bukti  yang  dimaksud  dala  ayat  (1)  tidak  dapat  diperoleh, maka  dapat  diajukan 
permohonan ke Pengadilan Agama. 

Pasal 10 
Rujuk  hanya  dapat  dibuktikan  dengan  kutipan  Buku  Pendaftaran  Rujuk  yanh  dikeluarkan  oleh 
Pegawai Pencatat Nikah. 


BAB III 
PEMINANGAN 

Pasal 11 
Peminangan dapat  langsung dilakukan  oleh  orang  yang  berkehendak mencari  pasangan  jodoh, 
tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya. 

Pasal 12 
(1)  Peminangan dapat dilakukan  terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau  terhadap  janda 
yang telah habis masa iddahya. 
(2)  Wanita  yang  ditalak  suami  yang masih  berada  dalam masa  iddah  raj”iah,  haram  dan  dilarang 
untuk dipinang. 
(3)  Dilarang  juga meminang  seorang wanita  yang  sedang dipinang  pria  lain,  selama pinangan  pria 
tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita. 
(4)  Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan  tentang putusnya hubungan pinangan 
atau  secara  diam-diam.  Pria  yang  meminang  telah  menjauhi  dan  meninggalkan  wanita  yang 
dipinang. 

Pasal 13 
(1)  Pinangan  belum  menimbulkan  akibat  hukum  dan  para  pihak  bebas  memutuskan  hubungan 
peminangan. 
(2)  Kebebasan  memutuskan  hubungan  peminangan  dilakukan  dengan  tata  cara  yang  baik  sesuai 
dengan  tuntunan  agar  dan  kebiasaan  setempat,  sehingga  tetap  terbina  kerukunan  dan  saling 
menghargai. 


BAB IV 
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN 

Bagian Kesatu 
Rukun 

Pasal 14 
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 
a.  Calon Suami; 
b.  Calon Isteri; 
c.  Wali nikah; 
d.  Dua orang saksi dan; 
e.  Ijab dan Kabul. 

Bagian Kedua 
Calon Mempelai 

Pasal 15 
(1)  Untuk  kemaslahatan  keluarga  dan  rumah  tangga,  perkawinan  hanya  boleh  dilakukan  calon 
mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 
1974  yakni  calon  suami  sekurang-kurangnya  berumur  19  tahun  dan  calon  isteri  sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun 
(2)  Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21  tahun harus mendapati  izin sebagaimana 
yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974. 

Pasal 16 
(1)  Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. 
(2)  Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan 
tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang 
tegas. 

Pasal 17 
(1)  Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu 
persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. 
(2)  Bila  ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan  itu 
tidak dapat dilangsungkan. 
(3)  Bagi calon mempelai yang menderita  tuna wicara atau  tuna  rungu persetujuan dapat dinyatakan 
dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. 

Pasal 18 
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan 
perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI. 


Bagian Ketiga 
Wali Nikah 

Pasal 19 
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita 
yang bertindak untuk menikahkannya 

Pasal 20 
(1)  Yang  bertindak  sebagai  wali  nikah  ialah  seorang  laki-laki  yang memenuhi  syarat  hukum  Islam 
yakni muslim, aqil dan baligh. 
(2)  Wali nikah terdiri dari : 
a.  Wali nasab; 
b.  Wali hakim. 

Pasal 21 
(1)  Wali  nasab  terdiri  dari  empat  kelompok  dalam  urutan  kedudukan,  kelompok  yang  satu 
didahulukan  dan  kelompok  yang  lain  sesuai  erat  tidaknya  susunan  kekerabatan  dengan  calon 
mempelai wanita. Pertama,  kelompok  kerabat laki-laki  garis  lurus  keatas  yakni  ayah, kakek dari  pihak  ayah  
dan seterusnya. 
Kedua,  kelompok  kerabat  saudara  laki-laki  kandung  atau  saudara  laki-laki  seayah,  dan  
keturunan laki-laki mereka. 
Ketiga,  kelompok kerabat  paman,  yakni  saudara  laki-laki  kandung  ayah,  saudara  seayah  
dan keturunan laki-laki mereka. 
Keempat,  kelompok saudara  laki-laki kandung kakek, saudara  laki-laki seayah dan   keturunan  
laki-laki mereka. 
(2)  Apabila  dalam  satu  kelompok  wali  nikah  terdapat  beberapa  orang  yang  sama-sama  berhak 
menjadi  wali,  maka  yang  paling  berhak  menjadi  wali  ialah  yang  lebih  dekat  derajat 
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. 
(3)  Ababila  dalamsatu  kelompok  sama  derajat  kekerabatan  aka  yang  paling  berhak  menjadi  wali 
nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. 
(4)  Apabila dalam  satu  kelompok, derajat  kekerabatannya  sama  yakni  sama-sama derajat  kandung 
atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan 
mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. 

Pasal 22 
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau 
oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali 
bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya. 

Pasal 23 
(1)  Wali  hakim  baru  dapat  bertindak  sebagai  wali  nikah  apabila  wali  nasab  tidak  ada  atau  tidak 
mungkin  menghadirkannya  atau  tidak  diketahui  tempat  tinggalnya  atau  gaib  atau  adlal  atau 
enggan. 
(2)  Dalam  hal  wali  adlal  atau  enggan  maka  wali  hakim  baru  dapat  bertindak  sebagai  wali  nikah 
setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. 

Bagian Keempat 
Saksi Nikah 

Pasal 24 
(1)  Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. 
(2)  Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi 

Pasal 25 
Yang  dapat  ditunjuk  menjadi  saksi  dalam  akad  nikah  ialah  seorang  laki-laki  muslim,  adil,  aqil 
baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. 

Pasal 26 
Saksi  harus  hadir  dan menyaksikan  secara  langsung  akdan  nikah  serta menandatangani  Akta 
Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. 


Bagian Kelima 
Akad Nikah 

Pasal 27 
Ijab  dan  kabul  antara  wali  dan  calon mempelai  pria  harus  jelas  beruntun  dan  tidak  berselang 
waktu. 

Pasal 28 
Akad  nikah  dilaksanakan  sendiri  secara  pribadi  oleh wali  nikah  yang  bersangkutan. Wali  nikah 
mewakilkan kepada orang lain. 

Pasal 29 
(1)  Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. 
(2)  Dalam  hal-hal  tertentu  ucapan  kabul nikah  dapat  diwakilkan  kepada  pria  lain  sengan  ketentuan 
calon mempelai  pria memeberi  kuasa  yang  tegas  secara  tertulis  bahwa  penerimaan wakil  atas 
akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (3)  Dalam  hal  calon mempelai wanita  atau wali  keberatan  calon mempelai  pria  diwakili,maka  akad 
nikah tidak boleh dilangsungkan. 


BAB V 
MAHAR 

Pasal 30 
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk 
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. 

Pasal 31 
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran 
Islam. 

Pasal 32 
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya. 

Pasal 33 
(1)  Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. 
(2)  Apabila  calon mempelai  wanita menyetujui,  penyerahan  mahar  boleh  ditangguhkan  baik  untuk 
seluruhnya  atau  sebagian.  Mahar  yang  belumditunaikan  penyerahannya  menjadi  hutangcalon 
mempelai pria. 

Pasal 34 
(1)  Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan. 
(2)  Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya 
perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya 
perkawinan. 

Pasal 35 
(1)  Suami  yang  mentalak  isterinya  qobla  al  dukhul  wajib  membayar  setengah  mahar  yang  telah 
ditentukan dalam akad nikah. 
(2)  Apabila  suami meninggal  dunia  qobla  al dukhul  tetapi  besarnya mahar belum  ditetapkan, maka 
sumai wajib membayar mahar mitsil. 

Pasal 36 
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama 
bentuk  dan  jenisnya  atau  dengan  barang  lain  yang  sama  nilainya  atau  dengan  uang  yang  senilai 
dengan harga barang mahar yang hilang. 

Pasal 37 
Apabila  terjadi  selisih  pendapat  mengenai  jenis  dan  nilai  mahar  yang  ditetapkan,penyelasaian 
diajukan ke Pengadilan Agama. 

Pasal 38 
(1)  Apabila  mahar  yang  diserahkan  mengandung  cacat  atau  kurang,  tetapi  calon  mempelai  tetap 
bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas. 
(2)  Apabila  isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan 
mahar  lain  yang  tidak  cacat.  Selama  Penggantinya  belum  diserahkan, mahar  dianggap  masih 
belum dibayar. 


BAB VI 
LARANGAN KAWIN 

Pasal 39 
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : 
(1)  Karena pertalian nasab : 
a.  dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; 
b.  dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; 
c.  dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya 
(2)  Karena pertalian kerabat semenda : a.  dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; 
b.  dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; 
c.  dengan  seorang  wanita  keturunan  isteri  atau  bekas  isterinya,  kecuali  putusnya  hubungan 
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; 
d.  dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. 
(3)  Karena pertalian sesusuan : 
a.  dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; 
b.  dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; 
c.  dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; 
d.  dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; 
e.  dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. 

Pasal 40 
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan 
tertentu: 
a.  karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; 
b.  seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; 
c.  seorang wanita yang tidak beragama islam. 

Pasal 41 
(1)  Seorang  pria  dilarang  memadu  isterinya  dengan  seoarang  wanita  yang  mempunyai  hubungan 
pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya; 
a.  saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya; 
b.  wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 
(2)  Larangan  tersebut  pada  ayat  (1)  tetap  berlaku meskipun  isteri-isterinya  telah  ditalak  raj`i,  tetapi 
masih dalam masa iddah. 

Pasal 42 
Seorang  pria  dilarang melangsungkan perkawinan dengan  seorang wanita  apabila pria  tersebut 
sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau 
masih  dalam  iddah  talak  raj`i  ataupun  salah  seorang  diantara mereka masih  terikat  tali  perkawinan 
sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i. 

Pasal 43 
(1)  Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : 
a.  dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali; 
b.  dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an. 
(2)  Larangan  tersebut pada ayat  (1) huruf a. gugur, kalau bekas  isteri  tadi  telah kawin dengan pria 
lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya. 

Pasal 44 
Seorang  wanita  Islam  dilarang  melangsungkan  perkawinan  dengan  seorang  pria  yang  tidak 
beragama Islam. 


BAB VII 
PERJANJIAN PERKAWINAN 

Pasal 45 
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : 
1.   Taklik talak dan 
2.   Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 

Pasal 46 
(1)  Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. 
(2)  Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan 
      sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan 
persoalannya  
      ke pengadilan Agama. 
(3)  Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi 
sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. 

 Pasal 47 
(1)  Pada  waktu  atau  sebelum  perkawinan  dilangsungkan  kedua  calon  mempelai  dapat  membuat  
perjanjian  tertulis  yang  disahkan  Pegawai  Pencatat  Nikah  mengenai  kedudukan  harta  dalam 
perkawinan. 
(2)  Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta  
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam. 
(3)  Di  samping  ketentuan  dalam  ayat  (1)  dan  (2)  di  atas,  boleh  juga  isi  perjanjian  itu menetapkan 
kewenangan  masing-masing  untuk  mengadakan  ikatan  hipotik  atas  harta  pribadi  dan  harta 
bersama atau harta syarikat. 

Pasal 48 
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka 
perjanjian  tersebut  tidak  boleh  menghilangkan  kewajiban  suami  untuk  memenuhi  kebutuhan 
rumah tangga. 
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan  tidak memenuhi ketentuan  tersebut pada ayat  (1) dianggap 
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung 
biaya kebutuhan rumah tangga. 

Pasal 49 
(1)  Perjanjian  percampuran  harta  pribadi  dapat  meliputi  semua  harta,  baik  yang  dibawa  masing-
masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. 
(2)  Dengan  tidak  mengurangi  ketentuan  tersebut  pada  ayat  (1)  dapat  juga  diperjanjikan  bahwa 
percampuran  harta  pribadi  yang  dibawa  pada  saat  perkawinan  dilangsungkan,  sehingga 
percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. 

Pasal 50 
(1)  Perjanjian  perkawinan mengenai  harta, mengikat  kepada  para  pihak  dan  pihak  ketiga  terhitung 
mulai 
      tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah 
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama  suami  isteri dan 
wajib 
     mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan 
(3)  sejak pendaftaran tersebut, pencabutan  telah mengikat kepada suami isteri  tetapi  terhadap pihak 
ketiga  pencabutan  baru mengikat  sejak  tanggal  pendaftaran  itu  diumumkan  suami  isteri  dalam 
suatu surat kabar setempat. 
(4)  Apaila  dalam  tempo  6  (enam)  bulan  pengumuman  tidak  dilakukan  yang  bersangkutan, 
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. 
(5)  Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta  tidak boleh merugikan perjanjian y7ang  telah 
diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. 

Pasal 51 
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan 
nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. 

Pasal 52 
Pada  saat  dilangsungkan  perkawinan  dengan  isteri  kedua,  ketiga  dan  keempat,  boleh 
doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan 
dinikahinya itu. 


BAB VIII 
KAWIN HAMIL 

Pasal 53 
(1)  Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 
(2)  Perkawinan  dengan  wanita  hamil  yang  disebut  pada  ayat  (1)  dapat  dialngsungkan  tanpa 
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang 
setelah anak yang dikandung lahir. 


 Pasal 54 
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga       
boleh bertindak sebagai wali nikah. 
(2)  Apabila  terjadi perkawinan dalam keadaan  ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam  ihram 
perkawinannya tidak sah.  


BAB IX 
BERISTERI LEBIH SATU ORANG 

Pasal 55 
(1)  Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. 
(2)  Syarat utaama beristeri  lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil  terhadap  ister-isteri 
dan       anak-anaknya. 
(3)  Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri      
dari seorang. 

Pasal 56 
(1)  Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. 
(2)  Pengajuan  permohonan  Izin  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  menurut  pada  tata  cara 
sebagaimana      diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975. 
(3)  Perkawinan yang dilakukan dengan  isteri kedua, ketiga atau keempat  tanpa  izin dari Pengadilan      
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. 

Pasal 57 
Pengadilan Agama hanya memberikan  izin kepada seorang suami yang akan beristeri  lebih dari      
seorang apabila : 
a.  isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; 
b.  isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 
c.  isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 

Pasal 58 
(1)  Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan      
Agama,  harus  pula  dipenuhi  syarat-syarat  yang  ditentukan  pada  pasal  5 Undang-Undang No.1 
Tahun 1974 yaitu : 
a.   adanya pesetujuan isteri; 
b.   adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak 
mereka. 
(2)   Dengan  tidak mengurangi  ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,      
persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun      
telah  ada  persetujuan  tertulis,  persetujuan  ini  dipertegas  dengan  persetujuan  lisan  isteri  pada 
sidang      Pengadilan Agama. 
(3)  Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau      
isteri-isterinya  tidak  mungkin  dimintai  persetujuannya  dan  tidak  dapat  menjadi  pihak  dalam      
perjanjian atau apabila  tidak ada kabar dari  isteri atau  isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2  tahun 
atau      karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. 

Pasal 59 
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari 
satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan 
Agama  dapat  menetapkan  tenyang  pemberian  izin  setelah  memeriksa  dan  mendengar  isteri  yang 
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini  isteri atau suami dapat 
mengajukan banding atau kasasi. 


BAB X 
PENCEGAHAN PERKAWINAN 

Pasal 60 
(1)  Pencegahan  perkawinan  bertujuan  untuk  menghindari  suatu  perkawinan  yang  dilarang  hukum 
Islam   dan Peraturan Perundang-undangan. 
(2)  Pencegahan  perkawinan  dapat  dilakukan  bila  calon  suami  atau  calon  isteri  yang  akan 
melangsungkan  perkawinan  tidak  memenuhi  syarat-syarat  untuk  melangsungkan  perkawinan 
menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.   

Pasal 61 
Tidak  sekufu  tidak  dapat  dijadikan  alasan  untuk  mencegah  perkawinan,  kecuali  tidak  sekufu 
karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien. 

Pasal 62 
(1)  Yang dapat mencegah perkawinan  ialah para keluarga dalam garis keturunan  lurus ke atas dan 
lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu   dari   salah   seorang   calon   mempelai   dan  
pihak-pihak yang bersangkutan 
(2)  Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak      
kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain. 

Pasal 63 
Pencegahan  perkawinan  dapat  dilakukan  oleh  suami  atau  isteri  yang  masih  terikat  dalam 
perkawinan  dalam  perkawinan  dengan  salah  seorang  calon  isteri  atau  calon  suami  yang  akan 
melangsungkan perkawinan. 

Pasal 64 
Pejabat  yang  ditunjuk  untuk  mengawasi  perkawinan  berkewajiban  mencegah  perkawinan  bila 
rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi. 

Pasal 65 
(1)  Pencegahan  perkawinan  diajukan  kepada  Pengadilan  Agama  dalam  daerah  Hukum  di  mana       
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah. 
(2)  Kepada  calon-calon  mempelai  diberitahukan  mengenai  permohonan  pencegahan  perkawinan 
dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.   

Pasal 66 
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut. 

Pasal 67 
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada 
Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama. 

Pasal 68 
Pegawai  Pencatat  Nikah  tidak  diperbolehkan  melangsungkan  atau  membantu  melangsungkan 
perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, 
pasal  10  atau  pasal  12  Undang-undang  No.1  Tahun  1974  meskipun  tidak  ada  pencegahan 
perkawinan. 

Pasal 69 
(1)  Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut 
Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. 
(2)  Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang  ingin melangsungkan perkawinan 
oleh  Pegawai  Pencatat Nikah  akan  diberikan  suatu  keterangan  tertulis  dari  penolakan  tersebut 
disertai dengan alasan-alasan penolakannya. 
(3)  Para  pihak  yang  perkawinannya  ditolak  berjak  mengajukan  permohonan  kepada  Pengadilan 
Agama  dalam  wilayah  mana  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang  mengadakan  penolakan 
berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan  surat keterangan penolakan 
tersebut diatas. 
(4)  Pengadilan  Agama  akan  memeriksa  perkaranya  dengan  acara  singkat  dan  akan  memebrikan 
ketetapan,  apabila  akan menguatkan  penolakan  tersebut  ataukah memerintahkan  agar  supaya 
perkawinan dilangsungkan. 
(5)  Ketetapan  ini  hilang  kekuatannya,  jika  rintangan-rintangan  yang  mengakibatkan  penolakan 
tersebut  hilang  dan  para  pihak  yang  ingin  kawin  dapat  mengulangi  pemberitahuan  tentang 
maksud mereka. 


 BAB XI 
BATALNYA PERKAWINAN 

Pasal 70 
Perkawinan batal apabila : 
a.  Suami  melakukan  perkawinan,  sedang  ia  tidak  berhak  melakukan  akad  nikah  karena  sudah 
mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i; 
b.  seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya; 
c.  seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas 
isteri  tersebut pernah menikah dengan pria  lain kemudian bercerai  lagi ba`da al dukhul dan pria 
tersebut dan telah habis masa iddahnya; 
d.  perkawinan  dilakukan  antara  dua  orang  yang  mempunyai  hubungan  darah;  semenda  dan 
sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang 
No.1 Tahun 1974, yaitu : 
1.   berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas. 
2.   berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang 
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 
3.   berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 
4.   berhubungan  sesusuan,  yaitu  orng  tua  sesusuan,  anak  sesusuan  dan    bibi  atau  paman 
sesusuan. 
e.  isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya. 

Pasal 71 
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: 
a.  seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; 
b.  perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. 
c.  perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain; 
d.  perkawinan  yang  melanggar  batas  umur  perkawinan  sebagaimana  ditetapkan  dalam  pasal  7 
Undang-undang-undang No.1. tahun 1974; 
e.  perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; 
f.  perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. 

Pasal 72 
(1)  Seorang  suami  atau  isteri  dapat  mengajukan  permohonan  pembatalan  perkawinan  apabila 
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. 
(2)  Seorang suami atau  isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada 
waktu berlangsungnya perkawinan  terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau 
isteri 
(3)  Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam 
jangka waktu 6  (enam) bulan setelah  itu masih  tetap hidup sebagai suami  isteri, dan  tidak dapat 
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. 

Pasal 73 
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : 
a.   para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri; 
b.  Suami atau isteri; 
c.  Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang. 
d.  para  pihak  yang  berkepentingan  yang  mengetahui  adanya  cacat  dalam  rukun  dan  syarat 
perkawinan  menurut  hukum  Islam  dan  Peraturan  Perundang-undangan  sebagaimana  tersebut 
dalam pasal 67. 

Pasal 74 
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi 
tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. 
(2)  Batalnya  suatu  perkawinan  dimulai  setelah  putusan  pengadilan  Agama  mempunyai  kekuatan 
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 

Pasal 75 
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : 
a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad; 
b.  anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c.  pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan 
pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap. 

Pasal 76 
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang 
tuanya. 


BAB XII 
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI 

Bagian Kesatu 
Umum 

Pasal 77 
(1)  Suami  isteri  memikul  kewjiban  yang  luhur  untuk  menegakkan  rumah  tangga  yang  sakinah, 
mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat  
(2)  Suami  isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,  setia dan memberi bantuan  lahir 
bathin yang satui kepada yang lain; 
(3)  Suami  isteri  memikul  kewajiban  untuk  mengasuh  dan  memelihara  anak-anak  mereka,  baik 
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; 
(4)  suami isteri wajib memelihara kehormatannya; 
(5)  jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada 
Pengadilan Agama 

Pasal 78 
(1)  Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. 
(2)  Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama. 


Bagian Kedua 
Kedudukan Suami Isteri 

Pasal 79 
(1)  Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. 
(2)  Hak dan kedudukan  isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan 
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 
(3)  masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 


Bagian Ketiga 
Kewajiban Suami 

Pasal 80 
(1)  Suami  adalah  pembimbing,  terhadap  isteri  dan  rumah  tangganya,  akan  tetap mengenai  hal-hal 
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama. 
(2)  Suami  wajib  melidungi  isterinya  dan  memberikan  segala  sesuatu  keperluan  hidup  berumah 
tangga sesuai dengan kemampuannya 
(3)  Suami wajib memberikan pendidikan agama  kepada  isterinya dan memberi  kesempatan belajar 
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. 
(4)  sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : 
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; 
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; 
c. biaya pendididkan bagi anak. 
(5)  Kewajiban  suami  terhadap  isterinya  seperti  tersebut  pada  ayat  (4)  huruf  a  dan  b  di  atas mulai 
berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. 
(6)  Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada 
ayat (4) huruf a dan b. 
(7)  Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. 


 Bagian Keempat 
Tempat Kediaman 

Pasal 81 
(1)  Suami wajib menyediakan  tempat kediaman bagi  isteri dan anak-anaknya atau bekas  isteri yang 
masih dalam iddah. 
(2)  Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, 
atau dalam iddah talak atau iddah wafat. 
(3)  Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, 
sehingga mereka merasa aman dan  tenteram. Tempat kediaman  juga berfungsi sebagai  tempat 
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. 
(4)  Suami  wajib  melengkapi  tempat  kediaman  sesuai  dengan  kemampuannya  serta  disesuaikan 
dengan  keadaan  lingkungan  tempat  tinggalnya,  baik  berupa  alat  perlengkapan  rumah  tangga 
maupun sarana penunjang lainnya. 

Bagian Kelima 
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang 

Pasal 82 
(1)  Suami  yang  mempunyai  isteri  lebih  dari  seorang  berkewajiban  memberikan  tempat  tiggaldan 
biaya  hidup  kepada  masing-masing  isteri  secara  berimbang  menurut  besar  kecilnya  jumlah 
keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. 
(2)  Dalam  hal  para  isteri  rela  dan  ihlas,  suami  dapat  menempatkan  isterinya  dalam  satu  tempat 
kediaman. 

Bagian Keenam 
Kewajiban Isteri 

Pasal 83 
(1)  Kewajibn utama bagi  seoarang  isteri  ialah berbakti  lahir dan batin kepada  suami di dalam  yang 
dibenarkan oleh hukum islam. 
(2)  Isteri  menyelenggarakan  dan  mengatur  keperluan  rumah  tangga  sehari-hari  dengan  sebaik-
baiknya. 

Pasal 84 
(1)  Isteri dapat dianggap nusyuz  jika  ia  tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana  
dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah 
(2)  Selama  isteri dalam nusyuz, kewajiban suami  terhadap  isterinya  tersebut pada pasal 80 ayat (4) 
huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. 
(3)  Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz 
(4)  Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. 


BAB XIII 
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN 

Pasal 85 
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-
masing suami atau isteri. 

Pasal 86 
(1)  Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. 
(2)  Harta  isteri  tetap menjadi hak  isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian  juga harta suami  tetap 
menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. 

Pasal 87 
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan  isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai 
hasiah  atau  warisan  adalah  dibawah  penguasaan  masing-masing,  sepanjang  para  pihak  tidak 
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 
(2)  Suami  dan  isteri  mempunyai  hak  sepenuhnya  untuk  melakukan  perbuatan  hukum  atas  harta 
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. 

 Pasal 88 
Apabila  terjadi  perselisihan  antara  suami  isteri  tentang  harta  bersama,  maka  penyelesaian 
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. 

Pasal 89 
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri. 

Pasal 90 
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. 

Pasal 91 
(1)  Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau 
tidak berwujud. 
(2)  Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat 
berharga. 
(3)  Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban. 
(4)  Harta  bersama  dapat  dijadikan  sebagai  barang  jaminan  oleh  salah  satu  pihak  atas persetujuan 
pihak lainnya. 

Pasal 92 
Suami  atau  isteri  tanpa  persetujuan  pihak  lain  tidak  diperbolehkan menjual  atau memindahkan 
harta bersama. 

Pasal 93 
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing. 
2.  Pertanggungjawaban  terhadap  hutang  yang  dilakukan  untuk  kepentingan  keluarga,  dibebankan 
kepada harta bersama. 
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri 

Pasal 94 
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai  isteri  lebih dari seorang,masing-
masing terpisah dan berdiri sendiri. 
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang 
sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, 
ketiga atau keempat. 

Pasal 95 
1. Dengan  tidak mengurangi  ketentuan pasal 24 ayat  (2) huruf  c Peraturan Pemerintah No.9  tahun 
1975  dan  pasal  136  untuk  meletakkan  sita  jaminan  atas  harta  bersama  tanpa  adanya 
permohonan  gugatan  cerai,  apabila  salah  satu  melakukan  perbuatan  yang  merugikan  dan 
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 
2.  Selama  masa  sita  dapat  dikakukan  penjualan  atas  harta  bersama  untuk  keperluan  keluarga 
dengan izin Pengadilan Agama. 

Pasal 96 
1.  Apabila  terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup  lebih 
lama,. 
2.  Pembangian  harta  bersama  bagi  seorang  suami  atau  isteri  yang  isteri  atau  suaminya  hutang 
harus  ditangguhkan  sampai  adanya  kepastian matinya  yang  hakiki  atau matinya  secara hukum 
atas dasar putusan Pengadilan Agama. 

Pasal 97 
Janda  atau  duda  cerai  masing-masing  berhak  seperdua  dari  harta  bersama  sepanjang  tidak 
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 


BAB XIV 
PEMELIHARAAN ANAK 

Pasal 98 
(1)  Batas  usia  anak  yang  mampu  berdiri  sendiri  atau  dewasa  adalah  21  tahun,  sepanjang  anak 
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2)  Orang  tuanya mewakili  anak  tersebut mengenai  segala  perbuatan  hukum  di  dalam  dan  di  luar 
Pengadilan. 
3.  Pengadilan  Agama  dapat  menunjuk  salah  seorang  kerabat  terdekat  yang mampu menunaikan 
kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. 

Pasal 99 
Anak yang sah adalah : 
a.   anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; 
b.  hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. 

Pasal 100 
Anak  yang  lahir  di  luar  perkawinan  hanya  mempunyai  hubungan  nasab  dengan  ibunya  dan 
keluarga ibunya. 

Pasal 101 
Seorang  suami  yang  mengingkari  sahnya  anak,  sedang  isteri  tidak  menyangkalnya,  dapat 
meneguhkan pengingkarannya dengan li`an. 

Pasal 102 
(1)  Suami  yang  akan  mengingkari  seorang  anak  yang  lahir  dari  isterinya,  mengajukan  gugatan 
kepada  Pengadilan  Agama  dalam  jangka  waktu  180  hari  sesudah  hari  lahirnya  atau  360  hari 
sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak 
dan  berada  di  tempat  yang  memungkinkan  dia  mengajukan  perkaranya  kepada  Pengadilan 
Agama. 
(2)  Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima 

Pasal 103 
(1)  Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. 
(2)  Bila akta kelahiram alat buktilainnya  tersebut dalam ayat (1)  tidak ada, maka Pengadilan Agama 
dapat  mengeluarkan  penetapan  tentang  asal  usul  seorang  anak  setelah  mengadakan 
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. 
(3)  Atas  dasar  ketetetapan  pengadilan  Agama  tersebut  ayat  (2), maka  instansi Pencatat  Kelahiran 
yang  ada  dalam  daerah  hukum  Pengadilan  Agama  trwebut  mengeluarkan  akta  kelahiran  bagi 
anak yang bersangkutan. 

Pasal 104 
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan  kepada  ayahnya. Apabila ayahya  stelah 
meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi 
nafkah kepada ayahnya atau walinya. 
(2)  Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa 
kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. 

Pasal 105 
Dalam hal terjadinya perceraian : 
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; 
b.  Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah 
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; 
c.  biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya. 

Pasal 106 
(1) Orang  tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau 
dibawah  pengampunan,  dan  tidak  diperbolehkan memindahkan  atau menggadaikannya  kecuali 
karena  keperluan  yang mendesak  jika  kepentingan dan  keslamatan anak  itu menghendaki atau 
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. 
(2)  Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari 
kewajiban tersebut pada ayat (1). 


BAB XV 
PERWALIAN 

Pasal 107 
(1)  Perwalian  hanya  terhadap  anak  yang  belum mencapai  umur  21  tahun  dan  atau  belum  pernah 
melangsungkan perkawinan. 
(2)  Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. 
(3)  Bila  wali  tidak  mampu  berbuat  atau  lalai  melaksanakan  tugas  perwaliannya,  maka  pengadilan 
Agama  dapat  menunjuk  salah  seorang  kerabat  untukbertindak  sebagai  wali  atas  permohonan 
kerabat tersebut. 
(4)  Wali  sedapat-dapatnya  diambil  dari  keluarga anak  tersebut atau oranglain  yang  sudah dewasa, 
berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. 

Pasal 108 
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian 
atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. 

Pasal 109 
Pengadilan  Agama  dapat  mencabut  hak  perwalian  seseorang  atau  badan  hukum    dan 
menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, 
pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi 
kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.  

Pasal 110 
(1)  Wali  berkewajiban mengurus  diri  dan  harta  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya  dengan 
sebaik-baiknya  dan  berkewajiban memberikan  bimbingan  agama,  pendidikan  dan  keterampilan 
lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. 
(2)  Wali  dilarang mengikatkan, membebanni  dan mengasingkan  harta  orang  yang  berada  dibawah 
perwaliannya, kecuali bila perbuatan  tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah 
perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. 
(3)  Wali  bertanggung  jawab  terhadap  harta  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya,  dan 
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. 
(4)  Dengan  tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat  (4) Undang-undang No.1 
tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang 
ditutup tiap satu tahun satu kali. 

Pasal 111 
(1)  Wali  berkewajiban menyerahkan  seluruh  harta  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya,  bila 
yang bersangkutan telah mencapai  umur 21 tahun atau telah menikah. 
(2)  Apabila  perwalian  telah  berakhir,  maka  Pengadilan  Agama  berwenang  mengadili  perselisihan 
antara  wali  dan  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya  tentang  harta  yang  diserahkan 
kepadanya. 

Pasal 112 
Wali  dapat  mempergunakan  harta  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya,  sepanjang 
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir. 


BAB XVI 
PUTUSNYA PERKAWINAN 

Bagian Kesatu 
Umum 

Pasal 113 
Perkawinan dapat putus karena : 
a.  Kematian, 
b.  Perceraian, dan 
c.  atas putusan Pengadilan. 


 Pasal 114 
Putusnya  perkawinan  yang  disebabkan  karena  perceraian  dapat  terjadi  karena  talak  atau 
berdasarkan gugatan perceraian. 

Pasal 115 
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama 
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 


Pasal 116 
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: 
a.  salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang 
sukar disembuhkan; 
b.  salah satu pihak mninggalkan pihak  lain selama 2 (dua)  tahun berturut-turut  tanpa  izin pihak  lain 
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; 
c.  salah  satu  pihak  mendapat  hukuman  penjara  5  (lima)  tahun  atau  hukuman  yang  lebih  berat 
setelah perkawinan berlangsung; 
d.  salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; 
e.  sakah  satu  pihak mendapat  cacat  badab  atau  penyakit  dengan  akibat  tidak  dapat menjalankan 
kewajibannya sebagai suami atau isteri; 
f.  antara  suami  dan  isteri  terus  menerus  terjadi  perselisihan  dan  pertengkaran  dan  tidak  ada 
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; 
g.  Suami menlanggar taklik talak; 
k.  peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 

Pasal 117 
Talak  adalah  ikrar  suami  di  hadapan  sidang  Pengadilan  Agama  yang  menjadi  salah  satu  sebab 
putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. 

Pasal 118 
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa 
iddah. 

Pasal 119 
1.  talak  Ba`in  Shughraa  adalah  talak  yang  tidak  boleh  dirujuk  tapi  boleh  akad  nikah  baru  dengan 
bekas suaminya meskipun dalam iddah. 
2.  Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : 
  a. talak yang terjadi qabla al dukhul; 
  b. talak dengan tebusan atahu khuluk; 
  c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. 

Pasal 120 
Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang  terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis  ini  tidak dapat dirujuk 
dan  tidak  dapat  dinikahkan  kembali,  kecuali  apabila  pernikahan  itu  dilakukan    setelah  bekas  isteri, 
menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya. 

Pasal 121 
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci 
dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. 

Pasal 122 
Talak  bid`I adalahtalak  yang  dilarang,  yaitu  talak  yang  dijatuhkan  pada waktu  isteri  dalam  keadaan 
haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. 

Pasal 123 
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan 

Pasal 125 
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya. 

   Pasal 126 
Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan 
atau  yang  sudah  lahir  dari  isterinya,  sedangkan  isteri  menolak  tuduhan  dan  atau  pengingkaran 
tersebut. 

Pasal 127 
Tata cara li`an diatur sebagai berikut : 
a.  Suami  bersumpah  empat  kali  dengan  kata  tuduhan  zina  dan  atau  pengingkaran  anak  tersebut 
diikuti  sumpah  kelima  dengan  kata-kata  “laknat  Allah  atas  dirinya  apabila  tuduhan  dan  atau 
pengingkaran tersebut dusta” 
b.  Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata 
“tuduhan  dan  atau pengingkaran  tersebut  tidak  benar”,  diikuti  sumpah  kelima  dengan  kata-kata 
murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”; 
c.  tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; 
d.  apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an. 

Pasal 128 
Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama. 

Bagian Kedua 
Tata Cara Perceraian 

Pasal 129 
Seorang  suami  yang  akan menjatuhkan  talak  kepada  isterinya mengajukan  permohonan  baik  lisan 
maupun  tertulis  kepada  Pengadilan  Agama  yang  mewilayahi  tempat  tinggal  isteri  disertai  dengan 
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. 

Pasal 130 
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan 
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi 

Pasal 131 
1.  Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam 
waktu  selambat-lambatnya  tiga  puluh  hari  memanggil  pemohon  dan  isterinya  untuk  meminta 
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 
2.  Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan 
untuk  menjatuhkan  talak  serta  yang  bersangkutan  tidak  mungkin  lagihidup  rukun  dalamrumah 
tangga,  pengadilan  Agama  menjatuhkan  keputusannya  tentang  izin  bagi  suami  untuk 
mengikrarkan talak. 
3.  Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum  tetap suami mengikrarkan  talaknya disepan 
sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 
4.  Bila  suami  tidak mengucapkan  ikrar  talak  dalam  tempo 6  (enam)  bulah  terhitung  sejak  putusan 
Pengadilan Agama  tentang  izin  ikrar  talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang  tetap maka 
hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh. 
5.  Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan  tentang terjadinya 
Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. 
  Helai  pertama  beserta  surat  ikrar  talak  dikirimkan  kepada  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang 
mewilayahi  tempat  tinggal  suami  untuk  diadakan  pencatatan,  helai  kedua  dan  ketiga  masing-
masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama 

Pasal 132 
1.  Gugatan  perceraian  diajukan  oleh  isteri  atau  kuasanya  pada Pengadilan Agama,.  Yang  daerah 
hukumnya  mewilayahi  tempat  tinggal  penggugat  kecuali  isteri  meninggalkan  tempat  kediaman 
bersama tanpa izin suami. 
2.  Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan 
gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. 

Pasal 133 
1.  Gugatan  perceraian  karena  alasan  tersebut  dalam  pasal  116  huruf  b,  dapat  diajukan  setelah 
lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah. 
2.  Gugatan  dapat  diterima  apabila  tergugat  menyatakan  atau  menunjukkan  sikap  tidak  mau  lagi 
kembali ke rumah kediaman besama.  

Pasal 134 
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah 
cukup  jelas  bagi  Pengadilan  Agama mengenai  sebab-sebab  perselisihan  dan  pertengkaran  itu  dan 
setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut. 

Pasal 135 
Gugatan  perceraraian  karena  alsan  suami  mendapat  hukuman  penjara  5  (lima)  tahun  atau 
hukuman  yang  lebih  berat  sebagai  dimaksud  dalam  pasal  116  huruf  c,  maka  untuk  mendapatkan 
putusan  perceraian  sebagai  bukti  penggugat  cukup menyapaikan  salinan  putusan Pengadilan  yang 
memutuskan  perkara  disertai  keterangan  yang  menyatakan  bahwa  putusan  itu  telah  mempunyai 
kekuatan hukum yang tetap. 

Pasal 136 
1.  Selama  berlangsungya  gugatan  perceraian  atas  permohonan  penggugat  atau  tergugat 
berdasarkan  pertimbangan  bahaya  yang  mingkin  ditimbulkan,  Penghadilan  Agama  dapat 
mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 
2.  Selama  berlangsungnya  gugatan  perceraian  atas  permohonan  penggugat  atau  tergugat, 
Pengadilan Agama dapat : 
a.   menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; 
b.   menentukan hal-hal  yang perlu untuk menjamin  terpeliharanya barang-barang  yang menjadi 
hak  bersama  suami  isteri  atau  barang-barang  yang menjadi  hak  suami  atau  barang-barang 
yang menjadi  hak isteri 

Pasal 137 
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau  isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan 
Agama mengenai gugatan perceraian itu. 

Pasal 138 
1.  Apabila  tempat  kediaman  tergugat  tidak  jelas  atau  tergugat  tidak mempunyai  tempat  kediaman 
yang tetap, panggilan  dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di 
Pengadilan  Agama  dan  mengumumkannya  melalui  satu  atau  bebrapa  surat  kabar  atau  mass 
media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. 
2.  Pengumuman  melalui  surat  kabar  atau  surat-siurat  kabar  atau  mass  media  tersebut  ayat  (1) 
dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama 
dan kedua 
3.  Tenggang  dwaktu  antara  penggilan  terakhir  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  dengan 
persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 
4.  Dalam hal  sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat  (2) dan  tergugat atau kuasanya 
tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak 
atau tidak beralasan. 

Pasal 140 
Apabila  tergugat  berada  dalam  keadaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  pasal  132  ayat  (2), 
panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat 

Pasal 141 
1.  Pemeriksaan  gugatan  perceraian dilakukan  oleh  hakim  selambat-lambatnya  30  (tiga  puluh)  hari 
setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian 
2.  Dalam  menetapkan  waktu  sidang  gugatan  perceraian  perlu  diperhatian  tenyang  waktu 
pemanggilan  dan  diterimanya  panggilan  tersebut  oleh  penggugat maupun  tergugat  atau  kuasa 
meeka. 
3.  Apabila  tergughat  berada  dalam  keadaan  seperti  tersebut  dalam  pasal  116  huruf  b,  sidang 
pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6  (enam) bulan  terhitung sejak 
dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama. 

Pasal 142 
1.  Pada  sidang  pemeriksaan  gugatan  perceraian,  suami  isteri  datang  sendiri  atau  mewakilkan 
kepada kuasanya. 
2.  Dalam  hal  suami  atau  isteri  mewakilkan,  untuk  kepentingan  pemeriksaan  Hakim  dapat 
memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. 

 Pasal 143 
1.  Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 
2.  Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang 
pemeriksaan. 

Pasal 144 
Apabila  terjadi  pedamaian,  maka  tidak  dapat  diajukan  gugatan  perceraian  baru  berdasarkan 
alasan atau alasan-alasan  yang ada  sebelum perdamaian dan  telah diketahui oleh penggugat pada 
waktu dicapainya perdamaian. 

Pasal 145 
Apabila  tidak  dicapai  perdamaian,  pemeriksaan  gugatan  perceraian  dilakukan  dalam  sidang 
tertutup. 

Pasal 146 
(1)  Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. 
(2)  Suatu  perceraian  dianggap  terjadi  beserta  akibat-akibatnya  terhitung  sejak  jatuhnya  putusan 
Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap 

Pasal 147 
(1)  Setelah  perkara  perceraian  itu  diputuskan,  aka  panitera  Pengadilan  Agama  menyampaikan 
salinan surat putusan  tersebut kepada suami  isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta 
Nikah dari masing-masing yang bersangkutan. 
(2)  Panitera  Pengadilan  Agama  berkewajiban  mengirimkan  satu  helai  salinan  putusan  Pengadilan 
Agama  yang  telah  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  tetap  tanpa  bermaterai  kepadaPegawai 
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan. 
(3)  Panitera  Pengadilan  Agama  mengirimkan  surat  Keterngan  kepada  masing-masing  suami  isteri 
atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan 
merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri. 
(4)  Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah 
yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. 
  Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat 
putusan serta tanda tangan panitera. 
(5)  Apabila  Pegawai  Pencatat  Nikah  dengan  Pegawai  Pencatat  Nikah  tempat  pernikahan  mereka 
dilangsungkan,  maka  satu  helai  salinan  putusan  Pengadilan  Agama  sebagaimana  dimaksud 
dalam  ayat(2)  dikirimkan  pula  kepada  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang  mewilayahi  tempat 
perkawinan  dilangsungka  dan  bagi  perkawinan  yang  dilangsungkan  di  luar  Negeri  Salinan  itu 
disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta. 
(6)  Kelalaian mengirimkan salinan putusan  tersebut dalam ayat (1) menjadi  tanggungjawab Panitera 
yang  bersangkutan,  apabila  yang  demikian  itu mengakibatkan  kerugian  bagi  bekas  suami  atau 
isteri atau keduanya. 

Pasal 148 
1.  Seorang  isteri  yang  mengajukan  gugatan  perceraian  dengan  jalan  khuluk,  menyanpaikan 
permohonannya  kepada  Pengadilan  Agama  yang mewilayahi  tempat  tinggalnya  disertai  alasan 
atau lasan-alasannya. 
2.  Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar 
keterangannya masing-masing. 
3.  Dalam  persidangan  tersebut  Pengadilan  Agama memberikan  penjelasan  tentang  akibat  khuluk, 
dan memberikan nasehat-nasehatnya. 
4.  Setelah  kedua  belah  pihak  sepakat  tentang  besarnya  iwadl  atau  tebusan,  maka  Pengadilan 
Agama  memberikan  penetapan  tentang  izin  bagi  suami  untuk  mengikrarkan  talaknya  disepan 
sidang  Pengadilan  Agama.  Terhadap  penetapan  itu  tidak  dapat  dilakukan  upaya  banding  dan 
kasasi. 
5.  Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5) 
6.  Dalam  hal  tidak  tercapai  kesepakatan  tentang  besarnya  tebusanatau  iwadl  Pengadilan  Agama 
memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. 




 BAB XVII 
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN 

Bagian Kesatu 
Akibat Talak 

Pasal 149 
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: 
a.  memberikan mut`ah  yang  layak  kepada  bekas  isterinya,  baik  berupa  uang  atau  benda,  kecuali 
bekas isteri tersebut qobla al dukhul; 
b.  memberi  nafkah,  maskan  dan  kiswah  kepada  bekas  isteri  selama  dalam  iddah,  kecuali  bekas 
isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; 
c.  melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; 
d.  memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun 

Pasal 150 
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah. 

Pasal 151 
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah 
dengan pria lain. 

Pasal 152 
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. 


Bagian Kedua 
Waktu Tunggu 

Pasal 153 
1.  Bagi seorang  isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu  tunggu atau  iddah, kecuali qobla al 
dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 
2.  Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : 
a.   Apabila  perkawinan  putus  karena  kematian,  walaupun  qobla  al  dukhul,  waktu  tunggu 
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari: 
b.   Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3 
(tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid 
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; 
c.   Apabila  perkawinan  putus  karena  perceraian  sedang  janda  tersebut  dalam  keadaan  hamil, 
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; 
d.   Apabila  perkawinan  putus  karena  kematian,  sedang  janda  tersebut  dalam  keadaan  hamil, 
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 
3.  Tidak  ada  waktu  tunggu  bagi  yang  putus  perkawinan  karena  perceraian  sedang  antara  janda 
gtersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. 
4.  Bagi perkawinan yang putus karena perceraian,  tenggang waktu  tunggu dihitung sejak  jatuhnya, 
Putusan  Pengadilan  Agama  yang  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  tetap,  sedangkan  bagi 
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami. 
5.  Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena 
menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. 
6.  Dalam  hal  keadaan  pada  ayat  (5)  bukan  karena menyusui, maka  iddahnya  selama  satu  tahun, 
akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali 
waktu suci. 

Pasal 154 
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 
(2)  huruf  b,  ayat  (5)  dan  ayat  (6)pasal  153,  di  tinggal mati  oleh  suaminya, maka  iddahnya  berubah 
menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. 

Pasal 155 
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah 
talak. 
  
Bagian Ketiga 
Akibat Perceraian 

Pasal 156 
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : 
a.  anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah 
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 
  1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 
  2. ayah; 
  3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 
  4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 
  5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 
b.  anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya; 
c.  apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, 
meskipun  biaya  nafkah  dan  hadhanah  telah  dicukupi,  maka  atas  permintaann  kerabat  yang 
bersangkutan Pengadilan Agama  dapat memindahkan  hak  hadhanah  kepada  kerabat  lain  yang 
mempunyai hak hadhanah pula; 
d.  semua  biaya  hadhanah  dan  nafkah  anak  menjadi  tanggung  jawab  ayah  menurut 
kemampuannya,sekurang-kurangnya  sampai  anak  tersebut  dewasa  dapat mengurus  diri  sendiri 
(21 tahun) 
e.  bilamana  terjadi  perselisihan  mengenai  hadhanah  dan  nafkah  anak,  Pengadilan  Agama 
membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); 
f.  pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan  jumlah biaya untuk 
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. 

Pasal 157 
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97 

Bagian Keempat 
Mut`ah 

Pasal 158 
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : 
a.  belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul; 
b.  perceraian itu atas kehendak suami. 

Pasal 159 
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158 

Pasal 160 
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. 


Bagian Kelima  
Akibat Khuluk 

Pasal 161 
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk 


Bagian Keenam 
Akibat Li`an 

Pasal 162 
Bilamana  li`an  terjadi  maka  perkawinan  itu  putus  untuk  selamanya  dan  anak  yang  dikandung 
dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah. 




 BAB XVIII 
RUJUK 

Bagian Kesatu 
Umum 

Pasal 163 
(1)  Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah. 
(2)  Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : 
a.   putusnya  perkawinan  karena  talak,  kecuali  talak  yang  telah  jatuh  tiga  kali  talak  yang 
dijatuhkan qobla al dukhul; 
b.  putusnya  perkawinan  berdasarkan  putusan  pengadilan  dengan  alasan  atau  alasan-alasan 
selain zina dan khuluk. 

Pasal 164 
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas 
suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi 

Pasal 165 
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan 
Pengadilan Agama. 

Pasal 166 
Rujuk  harus  dapat  dibuktikan  dengan  Kutipan  Buku  Pendaftaran  Rujuk  dan  bila  bukti  tersebut 
hilang  atau  rusak  sehingga  tidak  dapat  dipergunakan  lagi,  dapat  dimintakan  duplikatbya  kepada 
instansi yang mengeluarkannya semula. 

Bagian Kedua 
Tata Cara Rujuk 

Pasal 167 
(1)  Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah 
atau  Pembantu  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang  mewilayahi  tempat  tinggal  suami  isteridengan 
membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan 
(2)  Rujuk  dilakukan  dengan  persetujuan  isteri  dihadapan  Pegawaii  Pencatat  Nikah  atau  Pembantu 
Pegawai Pencatat Nikah. 
(3)  Pegawai  Pencatat  Nikah  atau  Pembantu  Pegawai  Pencatat  Nikah  memeriksa  dan  meyelidiki 
apakah  suami  yang  akan  merujuk  itu  memenuhi  syarat-syarat  merujuk  menurut  hukum 
munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam  iddah  talak raj`i, apakah perempuan 
yang akan dirujuk itu adalah isterinya. 
(4)  Setelah  itu  suami mengucapkan  rujuknya  dan masing-masing  yang  bersangkutan  besrta  saksi-
saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. 
(5)  Setelah  rujuk  itu  dilaksanakan,  Pegawai  Pencatat  Nikah  atau  Pembantu  Pegawai  Pencatat 
Nikahmenasehati  suami  isteri  tentang  hukum-hukum  dan  kewajiban mereka  yang  berhubungan 
dengan rujuk. 

Pasal 168 
(1)  Dalam  hal  rujuk  dilakukan  di  hadapan  Pembantu  Pegawai  Pencatat  Nikah  daftar  rujuk  dibuat 
rangkap 2  (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksi-
saksi,  sehelai  dikirim  kepada Pegawai  Pencatat Nikah  yang mewilayahinya,  disertai  surat-surat 
keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan. 
(2)  Pengiriman  lembar pertama dari daftar  rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan 
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. 
(3)  Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah 
membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab 
hilangnya. 

Pasal 169 
(1)  Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya 
kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami 
dan  isteri  masing-masing  diberikan  Kutipan  Buku  Pendaftaran  Rujuk  menurut  contoh  yang 
ditetapkan oleh Menteri Agama. (2)  Suami  isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk  tersebut datang 
ke  Pengadilan  Agama  di  tempat  berlangsungnya  talak  dahulu  untuk mengurus  dan mengambil 
Kutipan  akta  Nikah  masing-masing  yang  bersangkutan  setelah  diberi  catatan  oleh  Pengadilan 
Agama  dalam  ruang  yang  telah  tersedia  ppada  Kutipan  Akta  Nikah  tersebut,  bahwa  yang 
bersangkutan benar telah rujuk. 
(3)  Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi  tempat  terjadinya rujuk,  tanggal rujuk diikrarkan, nomor 
dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera. 


BAB XIX 
MASA BERKABUNG 

Pasal 170 
(1)  Isteri  yang  ditinggalkan  mati  oleh  suami,  wajib  melaksanakan  masa  berkabung  selama  masa 
iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. 
(2)  Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.  



 BUKU II 
HUKUM KEWARISAN 


BAB I 
KETENTUAN UMUM 

Pasal 171 
Yang dimaksud dengan: 
a.  Hukum  kewarisan  adalah  hukum  yang  mengatur  tentang  pemindahan  hak  pemilikan  harta 
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa 
bagiannya masing-masing. 
b.  Pewaris  adalah  orang  yang  pada  saat  meninggalnya  atau  yang  dinyatakan  meninggal 
berdasarkan  putusan  Pengadilan  beragama  Islam,  meninggalkan  ahli  waris  dan  harta 
peninggalan. 
c.  Ahli  waris  adalah  orang  yang  pada  saat  meninggal  dunia  mempunyai  hubungan  darah  atau 
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk 
menjadi ahli waris. 
d.  Harta  peninggalan  adalah  harta  yang  ditinggalkan  oleh  pewaris  baik  yang  berupa  benda  yang 
menjadi miliknya maupun hak-haknya. 
e.  Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama  setelah  digunakan untuk 
keperluan  pewaris  selama  sakit  sampai  meninggalnya,  biaya  pengurusan  jenazah  (tajhiz), 
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. 
f.  Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang  lain atau  lembaga yang akan 
berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 
g.  Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada 
aorang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 
h.  Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan 
dan  sebagainya  beralih  tanggung  jawabnya  dari  orang  tua  asal  kepada  orang  tua  angkatnya 
berdasarkan putusan Pengadilan. 
i.  Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan. 


BAB II 
AHLI WARIS 

Pasal 172 
Ahli waris dipandang beragama  Islam apabila diketahui dari Kartu  Identitas atau pengakuan atau 
amalan  atau  kesaksian,  sedangkan  bagi  bayi  yang  baru  lahir  atau  anak  yang  belum  di\ewasa, 
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. 

Pasal 173 
Seorang  terhalang  menjadi  ahli  waris  apabila  dengan  putusan  hakim  yang  telah  mempunyai 
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: 
a.  dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; 
b.  dipersalahkan  secara memfitnah  telah mengajukan pengaduan  bahwa  pewaris  telah melakukan 
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 

Pasal 174 
(1)  Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: 
a.  Menurut hubungan darah: 
-  golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. 
-  Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek. 
b.  Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. 
(2)  Apabila  semua  ahli waris  ada, maka  yang  berhak mendapat  warisan  hanya  :  anak,  ayah,  ibu, 
janda atau duda. 

Pasal 175 
(1)  Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah: 
a.  mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai; 
b.  menyelesaikan  baik  hutang-hutang  berupa  pengobatan,  perawatan,  termasuk  kewajiban 
pewaris maupun penagih piutang; c.  menyelesaikan wasiat pewaris; 
d.  membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak. 
(2)  Tanggung  jawab ahli waris  terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya  terbatas pada  jumlah 
atau nilai harta peninggalannya. 


BAB III 
BESARNYA BAHAGIAN 

Pasal 176 
Anak  perempuan  bila  hanya  seorang  ia  mendapat  separoh  bagian,  bila  dua  orang  atau  lebih 
mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama 
dengan  anak  laki-laki,  maka  bagian  anak  laki-laki  adalah  dua  berbanding  satu  dengan  anak 
perempuan. 

Pasal 177 
Ayah  mendapat  sepertiga  bagian  bila  pewaris  tidak  meninggalkan  anak,  bila  ada  anak,  ayah 
mendapat seperenam bagian. 

Pasal 178 
(1)  Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih.  Bila tidak ada anak 
atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. 
(2)  Ibu mendapat  sepertiga  bagian  dari  sisa  sesudah  diambil  oleh  janda  atau  duda  bila  bersama-
sama dengan ayah. 

Pasal 179 
Duda  mendapat  separoh  bagian,  bila  pewaris  tidak  meninggalkan  anak,  dan  bila  pewaris 
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian. 

Pasal 180 
Janda  mendapat  seperempat  bagian  bila  pewaris  tidak  meninggalkan  anak,  dan  bila  pewaris 
meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian. 

Pasal 181 
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara 
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau  lebih 
maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. 

Pasal 182 
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara 
perempuan  kandung  atau  seayah,  maka  ua  mendapat  separoh  bagian.    Bila  saudara  perempuan 
tersebut  bersama-sama  dengan  saudara  perempuan  kandung  atau  seayah  dua  orang  atau  lebih, 
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. 
Bila  saudara  perempuan  tersebut  bersama-sama  dengan  saudara  laki-laki  kandung  atau  seayah, 
maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan. 

Pasal 183 
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah 
masing-masing menyadari bagiannya. 

Pasal 184 
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau  tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka 
baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga. 

Pasal 185 
(1)  Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan 
oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. 
                                                  
*
   Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994, maksud pasal tersebut ialah : 
ayah mendapat sepertiga bagfian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami 
dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. (2)  Bagian  ahli waris  pengganti  tidak  boleh melebihi  dari  bagian  ahli waris  yang  sederajat  dengan 
yang diganti. 

Pasal 186 
Anak  yang  lahir di  luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan  ibunya 
dan keluarga dari pihak ibunya. 

Pasal 187 
(1)  bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya 
atau  oleh  para  ahli  waris  dapat  ditunjuk  beberapa  orang  sebagai  pelaksana  pembagian  harta 
warisan dengan tugas: 
a.  mencatat  dalam  suatu  daftar  harta  peninggalan,  baik  berupa  benda  bergerak maupun  tidak 
bergerak  yang kemudian disahkan oleh para ahli waris  yang bersangkutan, bila perlu dinilai 
harganya dengan uang; 
b.  menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) 
sub a, b, dan c. 
(2)  Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan  yang  harus dibagikan 
kepada ahli waris yang berhak. 

Pasal 188 
Para  ahli  waris  baik  secara  bersama-sama  atau  perseorangan  dapat  mengajukan  permintaan 
kepada ahli waris yang  lain untuk melakukan pembagian harta warisan.   Bila ada diantara ahli waris 
yang  tidak menyetujui  permintaan  itu, maka  yang  bersangkutan  dapat mengajukan  gugatan melalui 
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan. 

Pasal 189 
(1)  Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya 
dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama 
para ahli waris yang bersangkutan. 
(2)  Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris 
yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang 
atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai 
dengan bagiannya masing-masing. 

Pasal 190 
Bagi  pewaris  yang  beristeri  lebih  dari  seorang,  maka  masing-masing  isteri  berhak  mendapat 
bagian atas gono-gini dari  rumah  tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris 
adalah menjadi hak para ahli warisnya. 

Pasal 191 
Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau 
tidaknya, maka  harta  tersebut  atas  putusan Pengadilan Agama  diserahkan penguasaannya  kepada 
Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum. 


BAB IV 
AUL DAN RAD 

Pasal 192 
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil  furud menunjukkan 
bahwa  angka  pembilang  lebih  besar  dari  angka  penyebut, maka  angka  penyebut  dinaikkan  sesuai 
dengan  angka  pembilang,  dan  baru  sesudah  itu  harta  warisnya  dibagi  secara  aul  menutu  angka 
pembilang. 

Pasal 193 
Apabila  dalam  pembarian  harta  warisan  di  antara  para  ahli  waris  Dzawil  furud  menunjukkan 
bahwa  angka  pembilang  lebih  kecil  dari  angka  penyebut,  sedangkan  tidak  ada  ahli  waris  asabah, 
maka  pembagian  harta  warisan  tersebut  dilakukan  secara  rad,  yaitu  sesuai  dengan  hak  masing-
masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka. 


 BAB V 
WASIAT 

Pasal 194 
(1)  Orang  yang  telah  berumur  sekurang-kurangnya  21  tahun,  berakal  sehat  dan  tanpa  adanya 
paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. 
(2)  Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. 
(3)  Pemilikan  terhadap  harta  benda  seperti  dimaksud  dalam  ayat  (1)  pasal  ini  baru  dapat 
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. 

Pasal 195 
(1)  Wasiat  dilakukan  secara  lisan  dihadapan  dua  orang  saksi,  atau  tertulis  dihadapan  dua  orang 
saksi, atau dihadapan Notaris. 
(2)  Wasiat  hanya  diperbolehkan  sebanyak-banyaknya  sepertiga  dari  harta  warisan  kecuali  apabila 
semua ahli waris menyetujui. 
(3)  Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. 
(4)  Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang 
saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris. 

Pasal 196 
Dalam wasiat baik secara  tertulis maupun  lisan harus disebutkan dengan  tegas dan  jelas siapa-
siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. 

Pasal 197 
(1)  Wasiat  menjadi  batal  apabila  calon  penerima  wasiat  berdasarkan  putusan  Hakim  yang  telah 
mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: 
a.  dipersalahkan  telah  membunuh  atau  mencoba  membunuh  atau  menganiaya  berat  kepada 
pewasiat; 
b.  dipersalahkan  secara  memfitrnah  telah  mengajukan  pengaduan  bahwa  pewasiat  telah 
melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang 
lebih berat; 
c.  dipersalahkan  dengan  kekerasan  atau  ancaman  mencegah  pewasiat  untuk  membuat  atau 
mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; 
d.  dipersalahkan  telah  menggelapkan  atau  merusak  atau  memalsukan  surat  wasiat  dan 
pewasiat. 
(2)  Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: 
a.  tidak  mengetahui  adanya  wasiat  tersebut  sampai  meninggal  dunia  sebelum  meninggalnya 
pewasiat; 
b.  mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya; 
c.  mengetahui  adanya  wasiaty  itu,  tetapi  tidak  pernah  menyatakan  menerima  atau  menolak 
sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. 
(3)  Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah. 

Pasal 198 
Wasiat  yang  berupa  hasil  dari  suatu  benda  ataupun  pemanfaatan  suatu  benda  haris  diberikan 
jangka waktu tertentu. 

Pasal 199 
(1)  Pewasiat  dapat  mencabut  wasiatnya  selama  calon  penerima  wasiat  belum  menyatakan 
persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali. 
(2)  Pencabutan wasiat  dapat  dilakukan  secara  lisan  dengan  disaksikan  oleh  dua  orang  saksi  atau 
tertulis  dengan  disaksikan  oleh  dua  prang  saksi  atau  berdasarkan  akte  Notaris  bila  wasiat 
terdahulu dibuat secara lisan. 
(3)  Bila  wasiat  dibuat  secara  tertulis,  maka  hanya  dapat  dicabut  dengan  cara  tertulis  dengan 
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris. 
(4)  Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris. 

Pasal 200 
Harta  wasiat  yang  berupa  barang  tak  bergerak,  bila  karena  suatu  sebab  yang  sah mengalami 
penyusutan atau  kerusakan  yang  terjadi  sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat 
hanya akan menerima harta yang tersisa. 

Pasal 201 
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, 
maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya. 

Pasal 202 
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat  tidak mencukupi, 
maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya. 

Pasal 203 
(1)  Apabila  surat  wasiat  dalam  keadaan  tertup,  maka  penyimpanannya  di  tempat  Notaris  yang 
membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya. 
(2)  Bilamana  suatu  surat  wasiat  dicabut  sesuai  dengan  Pasal  199  maka  surat  wasiat  yang  telah 
dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat. 

Pasal 204 
(1)  Jika  pewasiat  meninggal  dunia,  maka  surat  wasiat  yang  tertutup  dan  disimpan  pada  Notaris, 
dibuka  olehnya  di  hadapan  ahli waris,  disaksikan  dua  orang  saksi  dan  dengan membuat  berita 
acara pembukaan surat wasiat itu. 
(2)  Jikas  surat  wasiat  yang  tertutup  disimpan  bukan  pada  Notaris  maka  penyimpan  harus 
menyerahkan  kepada  Notaris  setempat  atau  Kantor  Urusan  Agama  setempat  dan  selanjutnya 
Notaris  atau Kantor Urusan Agama  tersebut membuka  sebagaimana  ditentukan  dalam  ayat  (1) 
pasal ini. 
(3)  Setelah semua isi serta maksud surat wasiat  itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan 
Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya. 

Pasal 205 
Dalam waktu perang, para anggota  tentara dan mereka  yang  termasuk dalam golongan  tentara 
dan berada dalam daerah pertewmpuran atau yang berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan 
musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri 
oleh dua orang saksi. 

Pasal 206 
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan 
nakhoda  atau mualim  kapal,  dan  jika  pejabat  tersebut  tidak  ada, maka  dibuat  di  hadapan  seorang 
yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi. 

Pasal 207 
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang 
dan  kepada  orang  yang  memberi  tuntutran  kerohanian  sewaktu  ia  mewnderita  sakit  sehingga 
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. 

Pasal 208 
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut. 

Pasal 209 
(1)  Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut 
di atas, sedangkan  terhadap orang  tua angkat yang  tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah 
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya. 
(2)  Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 
dari harta warisan orang tua angkatnya. 


BAB VI 
HIBAH 

Pasal 210 
(1)  Orang  yang  telah  berumur  sekurang-kurangnya  21  tahun  berakal  sehat  tanpa  adanya  paksaan 
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di 
hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. 
(2)  Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. 

 Pasal 211 
Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. 

Pasal 212 
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. 

Pasal 213 
Hibah  yang  diberikan  pada  swaat  pemberi  hibah  dalam  keadaan  sakit  yang  dekat  dengan 
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. 

Pasal 214 
Warga  negara  Indonesia  yang  berada  di  negara  asing  dapat membuat  surat  hibah  di  hadapan 
Konsulat  atau  Kedutaan Republik  Indonesia  setempat  sepanjang  isinya  tidak  bertentangan  dengan 
ketentuan pasal-pasal ini. 




BUKU III 
HUKUM PERWAKAFAN 


BAB I 
KETENTUAN UMUM 

Pasal 215 
Yang dimaksud dengan: 
(1)  Wakaf  adalah  perbuatan  hukum  seseorang  atau  kelompok  orang  atau  badan  hukum  yang 
memisahkan  sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk  selama-lamanya guna 
kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. 
(2)  Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakfkan benda miliknya. 
(3)  Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya. 
(4)  Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau  tidak bergerak uang memiliki daya 
tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. 
(5)  Nadzir  adalah  kelompok  orang  atau  badan  hukum  yang  diserahi  tugas  pemeliharaan  dan 
pengurusan benda wakaf. 
(6)  Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah 
yang  diangkat  berdasarkan  peraturan  peraturan  yang  berlaku,  berkwajiban menerima  ikrar  dan 
wakif  dan  menyerahkannya  kepada  Nadzir  serta  melakukan  pengawasan  untuk  kelestarian 
perwakafan. 
(7)  Pejabat Pembuat  Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat  (6), diangkat dan diberhentikan oleh 
Menteri Agama. 


BAB II 
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF 

Bagian Kesatu 
Fungsi Wakaf 

Pasal 216 
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. 


Bagian Kedua 
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf 

Pasal 217 
(1)  Badan-badan  Hukum  Indonesia  dan  orang  atau  orang-orang  yang  telah  dewasa  dan  sehat 
akalnya  serta  yang  oleh  hukum  tidak  terhalang  untuk  melakukan  perbuatan  hukum,  atas 
kehendak  sendiri  dapat  mewakafkan  benda  miliknya  dengan  memperhatikan  peraturan 
perundang-undangan yang berlaku. 
(2)  Dalam  hal  badan-badan  hukum,  maka  yang  bertindak  untuk  dan  atas  namanya  adalah 
pengurusnya yang sah menurut hukum. 
(3)  Benda  wakaf  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  215  ayat  (4)  harus merupakan  benda milik 
yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa. 

Pasal 218 
(1)  Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir 
di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), 
yang  kemudian menuangkannya  dalam  bentuk  ikrar Wakaf,  dengan  didaksikan  oleh  sekurang-
kurangnya 2 orang saksi. 
(2)  Dalam  keadaan  tertentu,  penyimpangan  dan  ketentuan  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dapat 
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama. 

Pasal 219 
(1)  Nadzir  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  215  ayat  (4)  terdiri  dari  perorangan  yang  harus 
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
a.  warga negara Indonesia; 
b.  beragama Islam; c.  sudah dewasa; 
d.  sehat jasmani dan rohani; 
e.  tidak berada di bawah pengampuan; 
f.  bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya. 
(2)  Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 
a.  badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 
b.  mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya. 
(3)  Nadzir dimaksud dalam ayat  (1) dan  (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan 
setempat  setelah mendengar  saran  dari Camat Majelis  Ulama  Kecamatan  untuk mendapatkan 
pengesahan. 
(4)  Nadzir  sebelum melaksanakan  tugas,  harus  mengucapkan  sumpah  di  hadapan  Kepala  Kantor 
Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah 
sebagai berikut: 
”Demi  Allah,  saya  bersumpah,  bahwa  saya  untuk  diangkat menjadi Nadzir  langsung  atau  tidak 
langsung  dengan  nama  atau  dalih  apapun  tidak  memberikan  atau  menjanjikan  ataupun 
memberikan sesuatu kepada siapapun juga” 
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini 
tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun  juga suatu janji atau 
pemberian”. 
”Saya  bersumpah,  bahwa  saya  senantiasa  akan  menjunjung  tinggi  tugas  dan  tanggung  jawab 
yang  dibebankan  kepada  saya  selaku  Nadzir  dalam  pengurusan  harta  wakaf  sesuai  dengan 
maksud dan tujuannya”. 
(5)  Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat 
(5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh 
Kepala  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  atas  saran  Majelis  Ulama  Kecamatan  dan  Camat 
setempat. 


Bagian Ketiga 
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir 

Pasal 220 
(1)  Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, 
dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh 
Menteri Agama. 
(2)  Nadzir  diwajibkan  membuat  laporan  secara  berkala  atas  semua  hal  yang  menjadi  tanggung 
jawabnya  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  kepada  Kepala  Kantor  Urusan  Agama 
Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat. 
(3)  Tata  cara  pembuatan  laporan  seperti  dimaksud  dalam  ayat  (2)  dilaksanakan  sesuai  dengan 
peraturan Menteri Agama. 

Pasal 221 
(1)  Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena: 
a.  meninggal dunia; 
b.  atas permohonan sendiri; 
c.  tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir; 
d.  melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana. 
(2)  Bilama  terdapat lowongan  jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam 
ayat  (1), maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran 
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat. 
(3)  Seorang Nadzir yang  telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a,  tidak dengan 
sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya. 

Pasal 222 
Nadzir  berhak  mendapatkan  penghasilan  dan  fasilitas  yang  jenis  dan  jumlahnya  ditentukan 
berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan 
setempat. 




 BAB III 
TATA CARA PERWAKAFAN 
DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF 

Bagian Kesatu 
Tata Cara Perwakafan 

Pasal 223 
(1)  Pihak  yang  hendak mewakafkah  dapat menyatakan  ikrar wakaf  di  hadapan  Pejabat  Pembuaty 
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf. 
(2)  Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama. 
(3)  Pelaksanaan  Ikrar,  demikian  pula  pembuatan  Akta  Ikrar Wakaf,  dianggap  sah  jika  dihadiri  dan 
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. 
(4)  Dalam  melaksanakan  Ikrar  seperti  dimaksud  ayat  (1)  pihak  yang  mewakafkan  diharuskan 
menyerahkan  kepada  Pejabat  yang  tersebut  dalam  Pasal  215  ayat  (6),  surat-surat  sebagai 
berikut: 
a.  tanda bukti pemilikan harta benda; 
b.  jika  benda  yang  diwakafkan  berupa  benda  tidak  bergerak,  maka  harus  disertai  surat 
keterangan  dari  Kepala  Desa,  yang  diperkuat  oleh  Camat  setempat  yang  menerangkan 
pemilikan benda tidak bergerak dimaksud; 
c.  surat  atau  dokumen  tertulis  yang merupakan  kelengkapan  dari  benda  tidak  bergerak  yang 
bersangkutan. 


Bagian Kedua 
Pendaftaran Benda Wakaf 

Pasal 224 
Setelah Akta  Ikrar Wakaf dilaksanakan  sesuai dengan  ketentuan dalam Pasal 223 ayat  (3) dan 
(4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan 
mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan 
guna menjaga keutuhan dan kelestarian. 


BAB IV 
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN 
PENGAWASAN BENDA WAKAF 

Bagian Kesatu 
Perubahan Benda Wakaf 

Pasal 225 
(1)  Pada  dasarnya  terhadap  benda  yang  telah  diwakafkan  tidak  dapat  dilakukan  perubahan  atau 
penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. 
(2)  Penyimpangan  dari  ketentuantersebut  dalam  ayat  (1)  hanya  dapat  dilakukan  terhadap  hal-hal 
tertentu setelah  terlebih dahulu mendapat persetujuan  tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama 
Kecamatan  berdasarkan  saran  dari  Majelis  Ulama  Kecamatan  dan  Camat  setempat  dengan 
alasan: 
a.  karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif; 
b.  karena kepentingan umum. 


Bagian Kedua 
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf 

Pasal 226 

Penyelesaian  perselisihan  sepanjang  yang  menyangkut  persoalan  benda  wakaf  dan  Nadzir 
diajukan  kepada  Pengadilan  Agama  setempat  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-
undangan yang berlaku. 

 Bagian Ketiga 
Pengawasan 

Pasal 227 
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-
sama  oleh  Kepala  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan,  Majelis  Ulama  Kecamatan  dan  Pengadilan 
agama yang mewilayahinya. 


BAB V 
KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 228 
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan 
ini,  harus  dilaporkan  dan  didaftarkan  kepada  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  setempat  untuk 
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini. 


Ketentuan Penutup 

Pasal 229 
Hakim  dalam  menyelesaikan  perkara-perkara  yang  diajukan  kepadanya,  wajib  memperhatikan 
dengan  sungguh-sungguh  nilai-nilai  hukum  yang  hidup  dalam  masyarakat,  sehingga  putusannya 
sesuai dengan rasa keadilan. 


 PENJELASAN  
ATAS 
BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM 

PENJELASAN UMUM 

1.  Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, 
adalah  mutlak  adanya  suatu  hukum  nasional  yang  menjamin  kelangsungan  hidup  beragama 
berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  yang  sekaligus  merupakan  poerwujudan  kesadaran 
hukum masyarakat dan bangsa Indonesia. 
2.  Berdasarkan  Undang-undang  Nomor  14  Tahun  1970  tentang  Ketentuan-ketentuan  Pokok 
Kekuasaan  Kehakiman,  jo  Undang-undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang Mahkamah  Agung, 
Peradilan  Agama  mempunyai  kedudukan  yang  sederajat  dengan  lingkungan  peradilan  lainnya 
sebagai peradilan negara. 
3.  Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang 
pada  garis  besarnya meliputi  bidang-bidang  hukum  Perkawinan,  hukum  Kewarisan  dan  hukum 
Perwakafan. 
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum 
Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum  tersebut di atas adalah bersumber 
pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i. 
4.  Dengan  berlakunya  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  dan  Peraturan 
Pemerintah  Nomor  28  Tahun  1977  tentang  Perwakafan  Tanah  Milik  maka  kebutuhan  hukum 
masyarakat  semakin  berkembang  sehingga  kitab-kitab  tersebut  dirasakan  perlu  pula  untuk 
diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran 
terhadap  ketentuan  di  dalamnya  membandingkannya  dengan  Yurisprudensi  Peradilan  Agama, 
fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain. 
5.  Hukum Materiil  tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku 
Kompilasi  Hukum  Islam  sehingga  dapat  dijadikan  pedoman  bagi  Hakim  di  lingkungan  Badan 
Peradilan Agama  sebagai  hukum  terapan  dalam menyelesaikan  perkara-perkara  yang  diajukan 
kepadanya. 


PENJELASAN PASAL DEMI PASAL 

Pasal 1 s/d 6 
Cukup jelas 

Pasal 7 
Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan agama. 

Pasal 8 s/d 18 
Cukup jelas 

Pasal 19 
Yang dapat menjadi wali  terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali anak angkat dilakukan oleh 
ayah kandung. 

Pasal 20 s/d 71 
Cukup jelas 

Pasal 72 
Yang dimaksud dengan  penipuan  ialah  bila  suami mengaku  jejaka pada waktu nikah  kemudian 
ternyata diketahui sudah beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan.  Demikian pula 
penipuan terhadap identitas diri. 

Pasal 73 s/d 86 
Cukup jelas 

Pasal 87 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

 Pasal 88 s/d 93 
Cukup jelas 

Pasal 94 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

Pasal 95 s/d 97 
Cukup jelas 

Pasal 98 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

Pasal 99 s/d 102 
Cukup jelas 

Pasal 103 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

Pasal 104 s/d 106 
Cukup jelas 

Pasal 107 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

Pasal 108 s/d 118 
Cukup jelas 

Pasal 119 
Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama adalah talak ba’in sughraa. 

Pasal 120 s/d 128 
Cukup jelas 

Pasal 129 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

Pasal 130 
Cukup jelas 

Paal 131 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

Pasal 132 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

Pasal 133 s/d 147 
Cukup jelas 

Pasal 148 
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. 

Pasal 149 s/d 185 
Yang  dimaksud  dengan  anak  yang  lahir  di  luar  perkawinan  adalah  anak  yang  dilahirkan  di  luar 
perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah. 

Pasal 187 s/d 228 
Cukup jelas 

Pasal 229 
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan Buku III.